Pontianak –Mentarikhatulistiwa.co.id-Ketika luka duka menyelimuti dua keluarga yang sebenarnya bersaudara, hukum tidak selalu harus berbicara dengan suara keras. Kali ini, keadilan hadir melalui sentuhan nurani—merajut kembali hubungan yang terputus oleh kecelakaan lalu lintas, bukan memperlebar jaraknya.
Melalui pendekatan Restorative Justice, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung RI, Dir E Robert M. Tacoy, SH.MH, secara virtual menyetujui penghentian penuntutan perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian, yang diajukan Kejaksaan Negeri Sambas.
Perkara tersebut melibatkan pengemudi mobil Toyota Calya KB 1184 PH, tersangka Aris bin Ahmad Taruna, dan seorang “nek aki” (kakek) yang bersepeda. Insiden terjadi ketika korban tiba-tiba menyebrang jalan tanpa memperhatikan lalu lintas, sehingga kecelakaan tidak terhindarkan. Hasil penyidikan menunjukkan kejadian murni karena kelalaian korban yang melanggar Pasal 310 ayat (3) atau (4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Yang membuat berbeda, pelaku dan korban ternyata memiliki hubungan keluarga. Proses pengajuan restorative justice juga telah memenuhi seluruh ketentuan Perja No. 15 Tahun 2020 dan Peraturan Kejaksaan No. 3 Tahun 2023—dengan menghadirkan keluarga kedua pihak, tokoh masyarakat, aparat desa, dan penyidik Polres Sambas dalam musyawarah.
“Dari hasil musyawarah, keluarga korban menerima dengan lapang dada, memaafkan pelaku, dan tidak menghendaki proses hukum dilanjutkan karena memahami bahwa ini adalah musibah yang tidak diinginkan kedua belah pihak,” ujar Kajari Sambas Sulasman, SH.MH.
Jampidum menyetujui penghentian penuntutan setelah mempertimbangkan perdamaian tulus kedua pihak, tidak adanya unsur kesengajaan, hubungan kekerabatan, serta aspek kemanusiaan—dimana pelaku menunjukkan rasa penyesalan mendalam dan bertanggung jawab secara moral.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat Dr. Emilwan Ridwan, yang memimpin eksopse persetujuan, menekankan bahwa ini merupakan wujud kebijakan penegakan hukum humanis yang mengedepankan pemulihan, bukan pembalasan.
Sebagai hukuman pidana, pelaku akan dikenakan sanksi sosial berupa membersihkan Kantor Desa Sabing, Kec. Teluk Keramat, selama 1 bulan (2x seminggu, 1 jam per hari) dan mengikuti pelatihan mekanik/otomotif di Balai Latihan Kerja Kabupaten Sambas selama waktu yang sama.
Dir E juga menegaskan bahwa penyelesaian melalui keadilan restoratif tidak boleh disalahgunakan, hanya dapat diterapkan pada kondisi yang memenuhi syarat, dan tetap menjaga rasa keadilan masyarakat.(hen)


































