Pontianak–Mentarikhatulistiwa.co.id-Fenomena yang mengkhawatirkan terus meluas di ranah pertanahan: orang yang mengaku sebagai “pemilik tanah” justru yang terjebak sebagai terdakwa. Hal ini menjadi persoalan serius yang menggoyangkan sistem peradilan dan penegakan hukum agraria, di mana “kriminalisasi hak keperdataan” harus segera menjadi perhatian utama semua pihak.
Pengamat Hukum dan Akademisi Dr. Herman Hofi Munawar menyoroti bahwa salah satu masalah krusial dalam sengketa tanah adalah kecenderungan Aparat Penegak Hukum (APH) memaksakan sengketa kepemilikan hak – yang seharusnya diselesaikan secara perdata – ke ranah pidana, seperti tuduhan penyerobotan lahan atau pemalsuan dokumen. “Padahal Perma No. 1 Tahun 1956 jelas: perkara pidana terkait kepemilikan tanah harus ditangguhkan sampai ada putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.
Menurut Dr. Herman, memidanakan pemilik tanah sebelum hak perdatanya diuji secara tuntas adalah bentuk pelanggaran tegas terhadap prinsip due process of law. Bahkan, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang menganut sistem publikasi negatif bertendensi positif menyatakan bahwa sertifikat adalah bukti kuat, namun bukan bukti mutlak – sesuatu yang seringkali disesatkan oleh pihak-pihak yang berniat jahat.
Masalah ini justru dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki kekuatan finansial atau akses politik untuk “menciptakan” dokumen tandingan. Ketika pemilik asli mencoba mempertahankan tanah warisan atau hak miliknya, mereka malah dilaporkan dengan pasal 167 KUHP (memasuki pekarangan tanpa izin) atau pasal 385 KUHP (penyerobotan tanah). “Ini seperti memukul orang yang sedang mempertahankan rumahnya sendiri,” ujar Dr. Herman dengan nada khawatir. “Perlindungan hak atas tanah bagi warga kecil masih jauh dari sempurna – ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi bersama,” pungkasnya.(hen)


































