Pontianak,-Mentarikhatulistiwa.co.id-Kasus kematian bayi yang diduga akibat malpraktek di Klinik Utin Mulya (UM), Jalan Apel, Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, tengah menjadi sorotan. Ketua Umum Lumbung Informasi Masyarakat, Syafaraman, mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk segera membongkar kasus ini.
Kejadian bermula dini hari pukul 01.45 WIB, saat Ny. Mery Lestari Siregar (40 tahun) bersama suami, Asidul Jamat Tua (Edo Simbolon), datang ke Klinik UM untuk proses persalinan. Saat diketahui posisi bayi sungsang, bidan yang bertugas seharusnya merujuk Ny. Mery ke rumah sakit. Namun, setelah ketuban pecah, bidan tersebut justru melakukan tindakan persalinan. Dalam kondisi panik, bidan tersebut meminta Ny. Mery meneran dan meminta suami membantu membuka pangkal paha istrinya. Kondisi ini membuat suami Ny. Mery, yang tak kuasa melihat darah, pingsan.
Pukul 01.55 WIB, Ny. Mery dirujuk ke RS Antonius (ANT) dengan kondisi bayi sebagian telah keluar, kepala masih di dalam. Sesampainya di RS ANT pukul 01.58 WIB, bayi akhirnya dikeluarkan, namun sudah meninggal dunia. Dokter RS ANT menyatakan bayi telah meninggal sebelum penanganan medis di rumah sakit.
Pihak Klinik UM menyatakan telah mengikuti SOP dengan merujuk pasien, namun ketuban pecah sebelum rujukan dilakukan. Bidan YS mengakui melakukan inisiatif membantu persalinan, namun bayi tersangkut saat kepala belum keluar. Ia pun langsung merujuk ke RS Antonius, mengklaim bayi masih hidup saat dirujuk.
Syafaraman dari Lumbung Informasi Masyarakat menyoroti adanya saling lempar tanggung jawab antara Klinik UM dan RS ANT. Klinik UM dinilai menyalahkan RS ANT atas keterlambatan penanganan dokter yang sedang on call. Sementara, bidan Klinik UM mengakui melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan SOP.
“Kami meminta APH dan IDI untuk menyelidiki dugaan malpraktek ini,” tegas Syafaraman. Ia berharap agar kasus ini diproses hukum sesuai Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023 tentang Kealpaan yang Menimbulkan Kematian, yang ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
Kasus ini menjadi peringatan penting tentang perlunya pengawasan ketat terhadap praktik bidan dan pentingnya kepatuhan terhadap SOP dalam penanganan persalinan.(hen)