Example floating
Example floating
Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300
PendidikanUncategorized

Cerpen “Pagar di Lautan Ketololan”

109
×

Cerpen “Pagar di Lautan Ketololan”

Share this article
Example 468x60

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

Mentari khatulistiwa.co.id-Di atas balkon sebuah vila mewah di Marina Bay, Singapura, Aguam, Aseng, Afu, dan Asiang duduk mengelilingi meja marmer yang dilapisi keangkuhan. Empat cangkir kopi luwak seharga gaji setahun karyawan biasa mengepulkan aroma yang seakan mengejek masyarakat kelas pekerja. Mereka bagian dari Sembilan Macan, konsorsium tidak resmi yang kekayaannya mampu membeli seluruh benua kecil jika mereka mau. Konon, kekayaannya bila disatukan melebihi APBN. Lima anggota lain absen malam itu. Katanya sedang sibuk “melayani negara” alias mengatur saham tambang dan jalur impor yang harganya mereka tentukan sesuka hati.

Percakapan mereka santai, ringan, penuh candaan. Kalau orang awam dengar, mungkin mengira mereka hanya empat orang tua senang bergosip. Tapi percakapan ini seperti bermain catur di atas peta politik Indonesia. Kali ini, topik mereka adalah pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang bikin negara geger.

“Lucu ya, pagar laut itu bikin semua orang di Jakarta sakit kepala,” Aseng mulai bicara sambil memainkan jam tangan emasnya. “Bayangkan, Presiden sudah perintah bongkar, tapi eh, menterinya bilang tahan dulu. Dramanya mantap!”

Aguam tertawa, suaranya berat seperti pelaku antagonis di sinetron. “Si menteri ATR BPN bilang memang sudah terbit SHM di atas laut itu. Tapi, bukan masa dia. Yang lucu, dua menteri sebelumnya juga kompak ngaku tak tahu. Jadi siapa yang bikin sertifikat itu? Jin penguasa laut?”

Afu menyeruput kopinya pelan. “Ah, biarkan saja mereka saling tuduh. Toh, kalau mereka nuduh kita, semua bisa diatur. Siapa yang berani ngomong kalau kita ada di belakang ini? Kita udah pegang semua pejabat penting dan penegak hukum. Bahkan ikan paus pun kalau bisa ngomong, kita suruh diem.”

Keempatnya tertawa serempak. Tawa itu penuh ironi, penuh sindiran bagi sebuah negara yang katanya berdaulat, tetapi kenyataannya lebih mirip catur, dengan Sembilan Macan sebagai dalangnya.

“Eh, pagar laut itu akhirnya buat apa, sih?” Asiang bertanya. “Aku sampe lupa kenapa dulu kita suruh pasang.”

“Bukan kita yang suruh,” jawab Aguam sambil mengangkat bahu. “Itu ide brilian si… siapa tuh, yang pengen bikin tambak udang raksasa, tapi lupa izin. Kita cuma bantu ‘merapikan’ sertifikatnya biar legal.”

“Udang, ya?” Aseng bergumam sambil berpikir. “Berarti nanti kalau dibongkar, ada potensi tambak ilegalnya kelihatan, dong?”

Afu mengangkat telunjuknya. “Makanya jangan dibongkar. Itu kan bukti sejarah kebodohan birokrasi. Kalau kita biarin, nanti mereka sibuk berdebat, fokus pada siapa yang salah, bukan siapa yang diuntungkan. Kalau pada akhirnya mereka bosan, kita beli lagi tambaknya dengan harga murah. Siklusnya begitu terus, enak kan?”

“Ah, benar juga,” kata Asiang sambil tertawa. “Negara ini memang juara bikin drama. Gara-gara pagar laut saja, bisa geger kayak sinetron pagi hari.”

“Betul. Yang penting sekarang, kita santai saja dulu,” Aguam menutup pembicaraan sambil menyalakan cerutunya. “Biarkan rakyat bingung, biarkan pejabat saling tuduh, biarkan media sibuk. Kita ini cuma nonton saja. Pagar laut itu, biar jadi monumen nasional ketololan mereka. Anggap saja kayak tembok besar, tapi lebih absurd.”

Keempatnya kembali tertawa. Dalam tawa itu, ada aroma kebanggaan yang sulit disembunyikan. Mereka tahu, pagar laut itu hanyalah simbol kecil dari betapa jauhnya jarak antara mereka yang menguasai dan mereka yang dikuasai.

Malam itu, di Singapura, empat macan meneguk kopinya sambil menonton layar ponsel mereka. Berita tentang pagar laut terus bergulir. Ada debat di parlemen, ada aktivis yang turun ke jalan, ada netizen yang bikin thread investigasi. Semuanya tampak penting dan mendesak. Tapi bagi mereka, itu hanya hiburan kecil sebelum tidur.

“Eh, besok ngopi di mana?” tanya Aseng.

“Bali, mungkin? Atau Monaco?” jawab Afu santai.

“Yang penting, ada sinyal bagus buat nonton mereka ribut,” tambah Asiang.

Mereka pun tertawa lagi. Tawa yang menggema di atas lautan absurditas, seolah seluruh dunia hanyalah panggung sandiwara yang dibiayai dari kantong mereka.(**)

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Nasional

Oleh: Wilson Lalengke Jakarta, Mentari khatulistiwa.co.id– Hari-hari ini…

Example 600x600Example 600x600Example 600x600Example 600x600Example 600x600Example 600x600