Example floating
Example floating
Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300Example 1000x300
KebudayaanNasionalPendidikanUncategorized

Polemik Makan Bergizi Gratis: Antara Skema Langsung di Sekolah dan Usulan Uang Tunai

204
×

Polemik Makan Bergizi Gratis: Antara Skema Langsung di Sekolah dan Usulan Uang Tunai

Share this article
Example 468x60

Jakarta,mentarikhatulistiwa.co.id – Polemik mengenai skema Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat setelah muncul usulan agar program tersebut diubah menjadi pemberian uang tunai kepada orang tua siswa. Ide ini dinilai bisa memberi keleluasaan keluarga untuk menyiapkan makan siang anak di rumah, sekaligus mengurangi risiko keracunan makanan yang marak terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Namun, pemerintah menegaskan bahwa skema MBG dengan penyediaan langsung makanan di sekolah tetap menjadi pilihan terbaik.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menilai usulan apapun sah-sah saja disampaikan. Namun, ia menegaskan konsep yang saat ini dijalankan sudah melalui pertimbangan matang.

“Ide kan banyak, bukan berarti ide tidak baik, tapi konsep yang sekarang dijalankan dianggap oleh pemerintah dan BGN yang terbaik untuk dikerjakan,” ujar Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada Jumat lalu (19/9/2025).

Meski demikian, Prasetyo mengakui jika ada catatan perbaikan dalam pelaksanaan program, pemerintah akan terbuka.

“Kalau nanti ada catatan ya kita akui dan kita perbaiki,” lanjutnya.

Usulan pemberian tunai sebelumnya dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Charles Honoris. Ia menyoroti lemahnya penerapan Standard Operating Procedure (SOP) di tingkat Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menyebabkan sejumlah kasus keracunan makanan siswa.

Charles menyebut, persoalan utamanya ada pada alur pengolahan makanan yang rentan kontaminasi.

Menurutnya, rata-rata persiapan bahan baku MBG dimulai pukul 23.00 WIB, kemudian dimasak sekitar pukul 04.00 dini hari, dibungkus pukul 07.00, namun baru dikonsumsi siswa pada pukul 11.00–12.00 WIB. “Risiko makanan terkontaminasi bakteri jadi sangat tinggi,” kata Charles.

Charles pun mendorong Badan Gizi Nasional (BGN) agar mencoba pola lain. Salah satunya memberikan uang tunai langsung kepada orang tua siswa.

“Bahkan opsi memberikan uang kepada orang tua murid misalnya. Sehingga orang tua murid bisa menyediakan makanan sendiri untuk anak-anaknya,” ungkapnya.

Menurut Charles, cara ini bisa lebih efektif karena keluarga bisa menyesuaikan menu dengan kebutuhan anak masing-masing, sekaligus mengurangi ketergantungan pada dapur pusat MBG yang SOP-nya masih dipertanyakan.

Perdebatan mengenai MBG ini menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan antara efisiensi birokrasi, kontrol kualitas pangan, dan hak keluarga dalam menyediakan makanan anak. Pemerintah bersikukuh pada pola makan bersama di sekolah karena dianggap membangun kebiasaan sehat dan kebersamaan, sementara DPR menekankan risiko kesehatan jika SOP tidak dijalankan dengan baik.

Polemik mengenai skema Makan Bergizi Gratis (MBG) juga mendapat sorotan dari berbagai tokoh masyarakat. Mereka menilai program ini sangat penting untuk masa depan generasi muda, namun harus dijalankan dengan pengawasan yang ketat agar tidak menimbulkan masalah baru.

Tokoh pendidikan, Dr. H. Ahmad Syamsuddin, menekankan bahwa tujuan utama MBG jangan sampai kabur di tengah polemik teknis.

“Anak-anak kita butuh gizi, bukan sekadar formalitas program. Kalau pola sekolah dipertahankan, maka SOP harus diperkuat. Kalau mau uang tunai, maka pengawasan penggunaannya juga harus jelas. Intinya jangan sampai anak menjadi korban,” ujarnya.

Sementara itu, tokoh masyarakat dari kalangan orang tua murid menyambut baik usulan pemberian uang tunai.

“Kami sebagai orang tua tentu lebih tahu makanan apa yang cocok untuk anak. Tapi tentu harus ada mekanisme pengawasan supaya dana tidak disalahgunakan. Kalau uang tunai diberikan, jangan sampai hanya jadi tambahan belanja rumah tangga lain,” katanya.

Berbeda halnya dengan tokoh masyarakat Desa Sulawesi Selatan, H. Basri, yang melihat sisi sosial dari program MBG.

“Makan bersama di sekolah itu punya nilai kebersamaan. Anak-anak belajar disiplin, belajar antri, dan sama-sama menikmati makanan. Kalau jadi uang tunai, khawatir kebersamaan itu hilang,” jelasnya.

Tokoh kesehatan masyarakat, dr. Lina Kurnia, menambahkan catatan penting soal standar gizi.

“Apapun bentuknya, uang tunai atau makanan langsung, yang harus dipastikan adalah kandungan gizi sesuai kebutuhan anak. Jangan sampai bergeser dari tujuan awal, yaitu mencegah stunting dan meningkatkan kualitas kesehatan generasi,” tegasnya.

Suara-suara tersebut memperlihatkan bahwa publik menaruh harapan besar agar MBG benar-benar efektif dan tidak hanya menjadi proyek seremonial. Harapannya, pemerintah tidak menutup diri terhadap kritik, dan DPR tidak berhenti hanya pada wacana, melainkan turut mengawal agar pelaksanaan MBG sesuai harapan masyarakat.

Ke depan, publik menunggu apakah usulan perubahan skema MBG ini akan ditindaklanjuti, atau tetap dipertahankan sesuai rancangan awal dengan sejumlah perbaikan teknis di lapangan. (TIM/Red)

Example 300250
Example 120x600

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Example 1000x300Example 1000x300 Example 1000x300Example 600x600Example 600x600Example 600x600Example 600x600Example 600x600Example 600x600